Bismillah
Setelah pindah dari Makassar, ini liburan pertama kami ke luar kota. Sudah dari kapan suami ingin sekali jalan-jalan ke Ciletuh. Rencana awal kami mau touring motoran. Jarak terjauh bermotor kami sejauh ini Makassar-Bantaeng, sekitar 4jam perjalanan. Kami cukup yakin dengan waktu&jarak tempuh kali ini—dengan beberapa kali beristirahat di tempat wisata antara Soreang – Ujung Genteng ‘ Ciletuh, hingga mulai sering hujan kami memikirkan opsi lain. Daripada memakai jasa tour, mending bawa mobil sendiri supaya lebih murah saya yg tidak mengalami mabuk darat dan bisa menikmati perjalanan.
Sabtu, 16 Juli
Berikut itinerary yg dibuat suami untuk hari ini:
Niatnya mau berangkat ba’da subuh tapi sejak dini hari hujan masih turun. Kami undur sampai jam 7 pagi, hujan atau reda kami berangkat. Jam 10 kami tiba di Suspension Bridge alias Jembatan Rengganis. HTMnya Rp 100.000/orang untuk bisa naik ke Jembatan dilanjut ke Kawah Rengganis.
Pemberhentian selanjutnya di Curug Ceret Naringgul sekalian shalat zuhur. Maa syaaAllah air terjunnya tepat di samping jalan dan beneran ceret / nyiprat.
Satu jam setengah dari Curug Ceret kami singgah di Karang Potong Ocean View. HTM Rp 20.000/orang saat weekday dan Rp 25.000/orang saat weekend, parkir Rp 10.000,- . Tempatnya instagramable, cocok sekali buat yang suka berfoto.
Makan siang dimana? Rekomendasi suami berdasar review di internet adalah RM Rtiga, sayangnya hari ini tutup, jadi kami memilih mie instan sambil mendamba ikan bakar.
Kami baru shalat ashar jam setengah 5, di mushalla pom bensin. Waktu tempuh dr pom bensin ke penginapan sekitar 2 jam, jadi kami melewatkan beberapa destinasi.
Jam 6 sore kami masih di daerah tanpa pemukiman warga. Musik berganti murratal. Ngerasain gimana senengnya pas ada motor atau mobil di belakang kami—meski entah siapa mereka, lalu mulai deg-degan saat mereka mulai menyalip dan meninggalkan kami di belakang.
Alhamdulillah jam 7 kami tiba di penginapan. Turun dari mobil berasa goyang-goyang terus. Entang pusyiiing karena perjalanan atau karena lapar hehe. Setelah menyimpan barang, kami jalan sedikit ke luar penginapan untuk makan malam. Untuk 1,5kg ikan kuwe bakar dihargai Rp 170.000,- dan Nasi Rp 5.000,-/porsi.
Ahad, 17 Juli 2022
Suami lebih realistis untuk tidak membuat jadwal perjalanan disertai jamnya. Kami cuma menandai beberapa tempat tujuan dan berencana mulai keluar penginapan jam 06.00 ke Pantai Tenda Biru. Esoknya kami memutuskan untuk pergi setengah jam lebih awal dari yanh dijadwalkan kemarin menjadi 05.30. Jarak tempuh dari penginapan kami 3km, menurut maps sekitar 16 menit. Nyatanya saya yg terhitung baru bisa menyetir ditambah kondisi jalan yang berlubang membuat waktu tempuh menjadi 2 kali lipat. Setengah jam kemudian kami baru tiba dengan pintu portal masih ditutup. Kami pengunjung pertama di hari ini, ada pengunjung lain yang menginap dari kemarin. HTM Pantai Tenda Biru Rp 20.000,-.
Sekitar 5 menit dari pintu portal kami tiba di bibir pantai. Sambil celingukan, nyari keluarga yang katanya menginap disini.
Untuk kesekian kalinya kami dibecandai sama maps. Arah ke penginapan mencoba rute lain, sepuluh menit kemudian kami tiba di penginapan haha.
Yakali ke Ujung Genteng enggak ke pantainya..
Tujuan selanjutnya tempat penangkaran penyu, jaraknya cukup dekat, sekitar 15 menit dari Pondok Hexa.
HTM tempat konservasi penyu Rp 10.000,-/orang, parkir Rp 5.000,-; sudah termasuk ke Pantai Pangumbahan.
Meski suami sangat ingin ke tempat konservasi penyu, setelah tiba disana suami hanya melihat. Ditawarin foto bareng penyu kaya orang lain juga doi nolak. Kasian sama penyu, takut si penyu stres, katanya. Mungkin jika kemarin kami tiba di penginapan lebih awal kami bisa melihat pelepasan anak penyu.
Dari tempat penangkaran penyu kami berangkat ke Panenjoan. Lima menit pertama perjalanan masih senang, jalanan berlubang masih aman bahkan suami terkantuk-kantuk. Lima menit selanjutnya mikir, ini jalan berlubang berapa lama lagi ya. Otot kaki mulai pegal karena kelamaan di atas pedal rem. Selanjutnya tiap ketemu pertigaan sudah berharap itu jalan raya yang mulus. Masih jalan serupa ternyata. Masuk lagi pertigaan baru sampai kami ada di tanjakan yang berlubang. Mood mulai turun, mau putar balik kalau jalannya masih sama juga berasa sia-sia satu jam perjalanan. Sampai akhirnya tiba di pertigaan ada jalan mulus, alhamdulillah mood mulai membaik hihi.
Sesuai namanya dalam Bahasa Sunda, panenjoan berarti tempat melihat. Dari sini kami bisa melihat bebukitan hijau, sawah, perumahan warga, bahkan laut.
Sempat ngobrol dengan jukir di Panenjoan hingga kami ditawari sewa motor menuju Curug Awang karena mobil yang kami tumpangi tidak bisa menjangkau ke sana. Jaraknya cuma 1km, katanya. Iya 1km dari Panenjoan sampai jalan setapak, dari jalan setapak sekitar 2,7km, waktu tempuh sekitar 13 menit dengan kondisi jalan berbatu bonus genangan sisa hujan semalam. Baru tiga menit kami menyerah, tidak shanggup. Bagian bawah motor sempat kena batu jadi pecah 😅.
Tujuan kami selanjutnya adalah Pantai Palangpang, sekitar 30 menit dari Panenjoan. Subhanallah kondisi jalan mempengaruhi mood. Meski jalannya tidak terlalu lebar, di beberapa titik ada jalan amblas tapi jalannya enggak berlubang. Mengingat saya belum mengecek penginapan hari kedua ada dimana, jadi agak waswas kalau harus balik lagi ke jalan penuh cobaan tadi hehe. Alhamdulillah ternyata suami pilih penginapan di depan Pantai Palangpang.
Saat suami kasih lihat tempat yang bisa dituju di Ciletuh saya langsung tertarik untuk singgah ke Pulau Mandra, Kunti, dan Mariuk. Tiba di waktunya kami urung, padahal sudah ada yang menawarkan kami perahu dengan harga Rp 200.000,-/perahu dan bisa berangkat meski penumpangnya cuma kami berdua. Setelah singgah di beberapa pantai dalam sehari baru terasa lagi enggak enaknya kena angin dari laut.
Tujuan kami selanjutnya Curug Sodong. Baca di beberapa ulasan, kalau k Curug Sodong bisa sekalian singgah ke Curug Cikanteh. Sudah deal harga dengan pemandu ke Cikanteh, tetiba kerasa lagi sakit kepala. Jadi kami cuma duduk-duduk di depan Curug Sodong. Adem…kena cipratan air terjun haha.
Dari obrolan sebentar dengan pemandu, kami jadi tahu kenapa dinamai Ciletuh. Ci artinya air dan Letuh berarti keruh. Dinamai Ciletuh karena pantainya tempat bermuara dua belas curug (air terjun).
Kami tiba di penginapan sebelum maghrib, mandi, shalat maghrib lalu makan malam di Saung Kapikat, atas rekomendasi penjaga villa tempat kami menginap; jaraknya 300 meter.
Senin, 18 Juli
Kami berangkat dari penginapan jam 06.30 arah pulang lewat Sukabumi kota. Baru berapa kilometer sudah disuguhi pemandangan air terjun. Air Terjun Cimarinjung yg dilihat lebih dekat. Salah satu hal yang disukai di jalan-jalan kali ini karena relatif jarang kendaraan adalah bisa berhenti sebentar untuk ambil foto tanpa mengganggu arus jalan.
Selanjutnya kami disuguhi jalanan yg sangat memukau. Tanjakan terjal dengan tikungan, belum selesai di satu tikungan kami sudah melihat tikungan lagi di depan. Saking curamnya akhirnya bisa merasakan posisi gigi L. Selesai tanjakan dilanjut turunan yang enggak kalah curam dengan bonus tikungan. Alhamdulillah kondisi jalan yang mulus enggak bikin pikiran bergerinjul seperti kemarin hihi.
Lihat arah depan dan belakang kosong, melipir dulu buat ambil foto.
Kami singgah di Sukabumi kota untuk membeli oleh-oleh mochi. Ada tester untuk setiap rasa.
Kami istirahat di daerah Cianjur sekalian makan siang dan shalat. Alhamdulillah kami tiba di rumah jam setengah lima sore, setelah menyempatkan istirahat lagi di pom bensin daerah Rajamandala.
Biaya Perjalanan
Biaya yang kami dikeluarkan setengah dari biaya yang ditawarkan jasa tour. Kami tidak diburu waktu, tujuan wisata fleksibel, dan yang utama saya sendiri dalam keadaan tidak mabuk perjalanan hehe.
Pas di salah satu tikungan daerah Naringgul nanya ke suami: (1) Perjalanan ke Toraja kelokannya seperti ini? | Iya, tapi jalannya lebih lebar. (2) Waktu ke Rancabuaya dulu sama Bapak lewat Curug Ceret juga? | Iya jalan sini juga.B
Banyak hal yang dilewatkan saat tidur di perjalanan, tapi satu hal yang terjadi kalau enggak tidur saat itu : mabuk darat 😂.